BBM Satu Harga: Penebasan Paham Selir


BBM Satu Harga: Pembebasan Paham Selir Indonesia saat ini tengah memasuki umur yang ke 73 tahun. Jika boleh diibaratkan manusia saat  ini, memasuki usia yang ke 73 tahun ialah puncak kejayaan dan kesuksesan seseorang.

Sebaliknya, dalam usia itu manusia sangat rentan diserang dengan berbagai penyakit-penyakit kronis dan mematikan. Jika diusia tersebut sedang mujur dan panjang umur, akan membawa manusia ketingkat puberitas lagi.
Nah, dalam masa puber ini banyak orang mengambil langkah poligami, walau dengan berbagai alasan masing-masing. Baik membantu kaum wanita, bina rumah tangga, atau hawa nafsu belaka. Niat dan cara yang ditempuh sangat tergantung kepada pribadi masing-masing. Hal yang terpenting, sah!

Jadi saya melihat Indonesia saat ini, dari berbagai sudut pandang. Apalagi hadirnya program BBM Satu Harga sejalan PerMenESDM No.36 Tahun 2016, tanggal 10 November 2016. Berdasarkan SK Dirjen No.09K/10/DJM.O/2017 terdapat 148 kabupaten lokasi distribusi BBM Satu Harga secara bertahap dari 2017-2020.


Saya melihat, daerah terpencil, terdepan, terluar, dan tertinggal (4T) seperti di Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan daerah 4T lainnya bukanlah seorang gadis lagi. Namun daerah 4T tersebut ialah ibarat selir kaya yang malang, dimanfaatkan tapi tidak diperhatikan.

Artinya, daerah 4T itu sangat kaya-raya dan mewah, hanya saja penghuninya belum ada daya untuk mengelolanya. Baik kayu, emas, batubara, gas, dan minyak yang ada di rumah mereka. Akhirnya, yang memanfaatkan selama ini tetangga yang cerdik untuk kepentingan sendiri.

Terbukti selama ini yang tampil mewah hanya istri tua tertentu saja, yakni kawasan perkotaan, terutama daerah Pulau Jawa didandani dengan mewah dan cantik. Sebaliknya, istri tua yang lain, seperti daerah Nusa Tenggara, Kalimantan, dan lainnya masih sebagai penonton saja.

Apalagi istri muda, yaitu Papua sejak menerima pinangan Indonesia 1 Mei 1963 yang lalu, masih dianggap selir dan semakin tidak terurus meskipun ia berada di bangunan yang kaya-raya. Terbukti sampai saat ini, daerah Papua dinyatakan kawasan tingkat kemiskinan tertinggi di rumah Indonesia.


Bayangkan saja, ketidakadilan yang tercipta selama ini membuat komunikasi dengan beberapa kawasan “selir” lumpuh. Infrastruktur lemah, harga mahal, kesenjangan ekonomi dan sosial tidak teratasi. Di daerah “selir” ini, BBM per liter bisa mencapai Rp25 ribu, yang sangat membebani masyarakat.


Pada zaman millineals ini, dan dengan usia tengah memasuki 73 tahun, Indonesia mulai memperhatikan para “selirnya”, terutama di kawasan Timur Indonesia. Selama ini “selirnya” yang kaya ini diacuhkan, karena lebih peduli pada kawasan Barat, Utara, dan Selatan, terutama perkotaan.

Salah satu cara memanjakan “selir” atau “madunya” ini pemerintah Indonesia melalui PT Pertamina mulai membuka diri, dan transparan dengan bentuk keadilan. Salah satunya dengan program BBM Satu Harga, yang selama ini harga BBM di daerah “madunya” ini selangit.

Sejak tahun 2016 yang lalu, pemerintah mulai komitmen merealisasikan BBM Satu Harga di berbagai daerah, dengan target 150 titik dari 2017-2020 yang akan datang. Program BBM Satu Harga ini, sebagai bentuk kepedulian pihak pemerintah dan Pertamina dalam mewujudkan pembangunan yang merata.
Dengan harapan, sebagai negara yang kaya, maka tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak bisa berlaku adil. Ibarat syarat poligami, Indonesia sangat memiliki kemampuan. Hanya saja, kasarnya selama ini kekayaan yang ada belum dikelola dengan baik, jadi tidak berkeadilan bagi daerah lain.

Berharap besar, dengan adanya BBM Satu harga ini memberi keadilan bagi seluruh “madunya” pemerintah di rumah Indonesia ini, bisa merasakan cinta dan indahnya sebuah kemerdekaan. Bila saja BBM Satu Harga bisa dikelola dengan baik, akan membuka inovasi, kreativitas, dan peluang baru bagi masyarakat yang ada di dalamnya.


Wujudnya, akan tercipta roda ekonomi masyarakat yang lebih berkelanjutan, pembangunan infrastruktur semakin terdepan, dan kesenjangan ekonomi dan sosial semakin berangsur hilang. Mulai sekarang berhentilah mengurusi ego masing-masing, agar tidak ada lagi sekat pemisah hak dan kewajiban bagi seluruh warga.

Jika tidak mau diracuni dan didatangi penyakit kronis, jangan dianggap lagi suatu daerah itu “selir” atau “madu”, namun jadikan sebagai istri sah yang patut diperhatikan. Semoga tetap akur dan kerja bersama sesuai Nawa Cita, sehingga tidak ada yang terceraikan. Semoga!

0 Comments