Bahasa Minangkabau Digilas Globalisasi

Semua orang sadar, hilangnya bahasa bukti lenyapnya jati diri bangsa. Namun, tidak semua orang mampu bangkit dari kesadarannya.

Sejatinya, bahasa dianggap sebagai produk budaya yang mencerminkan identitas bangsa, salah satunya bahasa daerah. Negeri yang kaya ini, memiliki berbagai jenis, ragam, atau variasi bahasa daerah sesuai kelompok penuturnya. Sayangnya, bahasa daerah kini mulai terasa asing diperdengarkan. Era globalisasi dan modernisasi telah “menendangnya” dari kehidupan. Life style menjadi ajang untuk menunjukkan identitas diri. Bahasa daerah jadi korban yang diacuhkan, termasuk bahasa Minangkabau. Betapa tidak, bangsa Indonesia memiliki sekitar 700 lebih bahasa daerah, tetapi yang tercatat oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sekitar 450 saja. Sisanya, sebagian sudah punah dan sekarang beberapa bahasa juga sedang terancam punah.
Nampaknya, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah mengubah jalan hidup banyak orang, baik pola pikir, maupun cara berkomunikasi. Penuturan bahasa daerah semakin menipis, dan dicampakkan karena cenderung dianggap kuno, ndeso, terbelakang, dan bahkan “kampungan”. Setidaknya itulah fenomena yang nyata di kalangan masyarakat modern saat ini. Masyarakat yang “katanya” maju dan beradab itu lebih bangga melisankan bahasa “gado-gado”. Misalnya, bahasa Indonesia dicampur dengan bahasa Asing, bahasa Minangkabau campuran bahasa Indonesia, atau bahasa Minangkabau campuran bahasa Asing, menjadi bahasa “antah-barantah”.
Kalangan generasi muda, baik di perkotaan maupun pedesaan, mereka cenderung menggunakan kosakata modern, “gaul” dalam berkomunikasi. Padahal, yang mereka gunakan belum tentu lebih baik dari bahasa daerahnya, bahkan tidak lebih daripada pepesan kosong yang tidak bernilai. Bisa dikatakan, bahwa generasi muda, generasi saya saat ini, penerus bangsa saat ini, telah nyata mencabut akar budaya bangsanya sendiri. Mereka rela menjadikan bahasa daerahnya sebagai warisan budaya luhur yang agung itu layu, dan kemudian mati tergilas oleh roda modernitas atau globalisasi.
Padahal sikap itu yang lambat-laun ikut mengasingkan dan menghapus bahasa Minangkabau di negeri tercinta ini. Mereka mungkin sadar, tapi tidak pernah mau mengerti dengan kesadarannya. Katanya, mereka orang-orang yang maju dan mengikuti zaman. Namun perlu diingat, “ketika menemukan mesin yang baru, tidak berarti harus membakar mesin yang lama.” Kadang, mesin yang lama lebih kuat dan tahan lama daya tariknya. Sebaliknya, begitu pula dengan bahasa. Bahasa Minangkabau asli lebih terasa “maknyus” daripada bahasa Minangkabau “gado-gado” itu.

Kosakata yang Hilang
Pengaruh globalisasi telah menyentuh semua aspek kehidupan. Bahasa daerah salah satu korban kebringasannya. Betul, semua bahasa umumnya dari masa ke masa terus mengalami perubahan. Tetap saja menimbul kekhawatiran bagi penulis, suatu saat nanti bahasa Minangkabau juga terdaftar sebagai bahasa yang mengalami kepunahan. Tentu saja ini bukan hanya sekedar asumsi kosong, tetapi berdasarkan pantauan dan pengamatan dalam pergaulan dan komunikasi sehari-hari, bahwa bahasa Minangkabau sudah terkontaminasi.
Kita tahu, bahasa Minangkabau sebagai salah satu bahasa daerah yang banyak memberikan sumbangan terhadap kosakata bahasa Indonesia. Sekarang terbalik, adanya bahasa Indonesia malah mempengaruhi penggunaan bahasa Minangkabau. Saling mempengaruhi ini mengakibatkan munculnya bahasa Minangkabau  versi “gaul”. Para penutur bahasa Minangkabau sering mencampuradukkannya ketika berkomunikasi. Misalnya, kita sering mendengar; “kama kamu tadi?” “dak nio aku dow”, baa lo lu ko, maleh gue samo lu mah”, “nan jaleh aku nio shooping lu, “maleh gue minjaman mah, beko lu hilang lo pensil gue liak”. Aneh terdengar, tapi itulah kenyataannya.
Selain itu, kini globalisasi nampaknya semakin merajalela merasuki pemikiran baru bagi penutur bahasa Minangkabau. Fenomenanya, tanpa disadari banyak kosakata Minangkabau yang terasa asing, jarang didengar, jarang dituturkan, atau mungkin sudah hilang dari penutur aslinya. Misalnya; anggau, ansik, caba, cacuah, cabuah, cuciang, ciluah, dampuah, esoh, gadayak, gagik, galemeang, gaham, galiang, gureteh, ikik, kapere, kumayah, kacapuang, kalencong, kalibuik, ladah, lenjang, lindang, lingau, ngaek, paringgo, pituluik, poak, redek, sasau, solang, sepah,sipi, sipongang, ojok, nereh, bahkan masih banyak lagi. Bisa dipastikan, tidak semua orang Minangkabau tahu maksud dari kosakata itu. Padahal, kosakata itu hanya sebagian kecil dari kosakata yang sudah jarang kita dengar, atau sudah mulai hilang dari peredaran. Jika dibiarkan terus-menerus, tentu mengakibatkan semakin banyaknya kosakata bahasa Minangkabau yang akan hilang, dan tentu orang Minangkabau tidak mengerti bahasanya sendiri.

Penyebab dan Butuh Tanggungjawab
Secara sosiologis, penyebab lunturnya bahasa dan kosakata Minangkabau tidak lepas dari determinasi faktor internal yang berasal dari masyarakat penuturnya sendiri. Pertama, melemahnya sosialisasi dalam keluarga. Kebanyakan orangtua saat ini cenderung menggunakan bahasa Indonesia saat berkomunikasi dalam keluarganya. Kurangnya sosialisasi orangtua mengakibatkan anak-anak tidak lagi menjadikan bahasa daerahnya sebagai sense of belonging.  Seharusnya, orangtua sebagai agen utama dalam menjembatani anak terhadap etnis, budaya, serta bahasa daerah Minangkabau.
Kedua, disorientasi kurikulum pendidikan. Tidak dipungkiri, sekolah-sekolah di daerah Minangkabau mulai dari SD, SMP, SMA, sudah jarang ada pelajaran khusus tentang bahasa daerah, Budaya Alam Minangkabau (BAM). Kalaupun ada, hanyalah sebagai muatan lokal (mulok) yang tidak lebih dari dua jam dalam seminggu. Padahal ini salah satu cara melestarikan bahasa Minangkabau, petatah-petitih, dan budayanya. Tidak jauh berbeda, di perguruan tinggi lebih memprioritaskan bahasa Indonesia atau bahasa Asing, karena dianggap lebih berharga dibandingkan bahasa daerah. Padahal, melestarikan bahasa daerah juga termasuk bagian urusan dan tanggungjawab orang yang perpendidikan tinggi.
Ketiga, kurangnya kesadaran generasi muda. Kini, generasi muda lebih percaya diri memakai bahasa Asing, gaul, dan bahasa alay, dibanding bahasa Minangkabau. Budaya dan kebiasaan anak muda telah menyingkirkan bahasa Minangkabau. Mereka terhipnotis dengan kemewahan dari bahasa Asing, bahasa gaul, alay yang berkembang dalam kesehariannya, yang kadang-kadang terkesan lebai. Kesadaran mereka hilang karena pengaruh life style. Padahal bahasa daerah adalah salah satu warisan budaya luhur mereka yang harus dilestarikan.
Sangat banyak faktor yang ikut menguliti bahasa Minangkabau. Masyarakat Sumatera Barat (Sumbar), mayoritas sudah terjangkiti penyakit kemodernan, terutama kalangan remaja. Menyedihkan lagi, kini pelakunya bukan saja kalangan anak-anak dan remaja pewaris kebudayaan bangsa, namun orang dewasa pun sudah mulai ikut-ikutan. Mereka bangga pakai kata “aku dan kamu”, “gue dan lo” daripada kata “awak, aden, ambo, dan ang/angku ”, mereka bangga memakai kata “pensil” dibanding “pituluik”. Alasannya, itu cara mengaktulisasi diri dengan life style terkini, agar terlihat modern, tidak dianggap kuno, dan tidak terlihat asing di tengah masyarakat.
Bagi yang tidak biasa, pasti cukup aneh mendengarnya bahasa Minangkabau “gado-gado”. Tapi bagi penutur alai, hal seperti itu biasa, sebaliknya kata “pituluik” itu yang dianggap aneh, karena itu bahasa zaman “ketumba” yang sudah ketinggalaman zaman. Tentu saja itu ada sebabnya. Pertama, modernisasi dan globalisasi. Peradaban canggih dan modern tidak hanya membawa dampak positif, namun juga menimbulkan efek negatif pada bahasa penutur.  Misalnya, akses komunikasi dan informasi, kini bisa menjadi binalu yang menggerogoti kesuburan bahasa Minangkabau. Media mayoritas tidak lebih daripada agen “makelar” budaya Asing dan juga bahasa Asing, dengan menginternalisasikan bahasa Asing kepada masyarakat, sehingga bahasa daerah yang menjadi asing.
Kedua, eksistensi bahasa Asing di Indonesia. Bahasa Asing menjajah negeri ini sejak masa kolonial kian eksis dan lestari. Tempat kursus bahasa Asing bertebaran dimana-mana. Modernisasi telah menuntut masyarakat menguasai bahasa Asing agar dapat berkontestasi di dunia internasional, baik dalam aspek pendidikan, bisnis, ataupun politis. Memang ada sisi baiknya jika nanti dapat mengharumkan nama bangsa. Namun tanpa disadari semakin kita berhasrat dan pandai berbahasa Asing, semakin kita terlihat bodoh pula untuk mengacuhkan bahasa daerah sebagai harta kekayaan bangsa.
Ketiga, dominasi kultural. Globalisasi telah menyemai benih-benih budaya barat ke berbagai belahan dunia, sehingga terjadi pertautan antara budaya lokal dan budaya global. Budaya Asing yang telah mendominasi dalam kehidupan masyarakat modern, kemudian mengikis kebutuhan masyarakat terhadap bahasa daerahnya sendiri. Ini akibat mental inlander yang ditanam sejak masa kolonial, telah mendoktrin masyarakat untuk memandang rendah bahasa daerahnya sendiri. Pengaruh dominan kultur bahasa Asing yang terus disemai ke segala penjuru oleh negara-negara maju, telah mencekik aliran nafas bahasa Minangkabau. Semakin sedikit masyarakat yang menggunakan bahasa Minangkabau, maka suatu nanti jangan harap anak-cucu kita akan dapat bertegur-sapa dengan bahasa luhur daerahnya sendiri.
Jika penuturnya sendiri tidak mampu menghargai bahasanya sendiri, jangan harap bangsa lain yang sudi menghargai bangsa ini. Tentu tidak cukup hanya berbekal dari tangan serta pemikiran masyarakat saja untuk melestarikan bahasa Minangkabau. Kontribusi pemerintah, baik pusat maupun daerah, patut mengambil peran. Diharapkan pemerintah dapat mengubah orientasi kurikulum pendidikan untuk menyelaraskan antara modernitas dan tradisionalitas, antara bahasa global dan bahasa lokal, antara pendidikan dan kebudayaan.
Pihak media, baik berskala lokal maupun nasional harus berpartisipasi untuk resosialisasi bahasa daerah. Media daerah Sumbar dapat memberitakan atau memuat isu-isu terkait pelestarian bahasa Minangkabau, serta menyertakan bahasa Minangkabau dalam program unggulannya. Peran media sangat penting dalam mengubah pola pikir masyarakat untuk tidak terlalu xenosentris terhadap bahasa Asing. Misalnya, disediakan rubrik atau halaman khusus untuk memuat bahasa Minangkabau.
Selain itu, para sastrawan dan kebudayaan harus bisa berpartisipasi dalam membangkitkan bahasa Minangkabau, melalui karya-karyanya. Para orangtua harus ikut bertanggungjawab, pihak tetua adat, datuak, ninik mamak, kepala suku (kaum), kepala Kantor Adat Nagari (KAN), Lembaga Kenagarian Adat Minangkabau (LKAM), dan dukungan kooperasi dari berbagai pihak yang merasa “masih” mencintai bahasa daerah, harus bertanggungjawab untuk melestarikan bahasa Minangkabau. Harapannya, tentu harta karun bangsa ini dapat terus hidup. Jika tidak, bahasa Minangkabau lambat-laun hanya tinggal nama.***


                                                                              Mahasiswa Program Magister, FBS UNP
                                                                Dimuat pada Harian Metro Andalas, 21 Mei 2015

0 Comments